Perencanaan dan penganggaran ibarat keping mata uang yang tidak bisa dipisahkan antara keduanya. Namun dalam implementasinya, perencanaan pembangunan berdiri di satu kutub sedang penganggaran berada dikutub yang lain. Ini mengakibatkan keterputusan antara kebijakan perencanaan dengan penganggaran. Bahkan yang lebih memprihatinkan, setiap akan menyusun anggaran terutama di tingkat desa selalu dicari-cari kegiatan baru dan mengabaikan hasil Musrenbangdes yang telah disepakati bersama antara pemerintahan desa dan masyarakatnya.

"Menghilangnya" kesadaran kolektif para pemangku kewajiban (pihak pemerintah desa-kabupaten) untuk memposisikan hasil perencanaan dan penganggaran sebagai produk kesepakatan yang telah dilegalisasi dalam bentuk peraturan di desa yang harus dipatuhi mencerminkan tidak adanya penghargaan terhadap upaya membangun kemandirian desa. Bahkan, kecenderungan memposisikan desa sebagai "sub ordinat" pemerintah kabupaten semakin memperkuat kecurigaan bahwa desa harus diposisikan sangat lemah dan selalu bergantung serta menunggu "dawuh" (perintah).