Putri Zein pilu menyaksikan semua itu. Tubuh kekasihnya begitu kurus dan mengenaskan,seperti onggokan tulang berbalut kulit saja. Ia langkahkan kakinya. Ia dekati tubuh kekasihnya. Ia ingin mengatakan sesuatu untuk membangunkan kekasihnya. Namun ia tak kuasa. Ia hamburkan tubuhnya ke tubuh Mamo lalu menangis sejadi-jadinya,seraya memanggil-manggil nama Mamo sekeras-kerasnya. Airmatanya membasahi wajah Mamo. Suasana benar-benar menyentuh dan memilukan. Mereka yang ada di ruangan itu sesenggukan menahan tangis haru. Mereka sedih dan kasihan pada nasib Mamo dan Putri Zein yang memprihatinkan.

Di saat itulah jiwa Mamo tersentuh. Ia merasakan sesuatu dalam dirinya. Perlahan ia buka kedua matanya. Ia pandangi orang-orang yang mengelilinginya. Orang-orang yang sembab matanya. Ia kemudian berusaha duduk, lalu memutar wajahnya ke arah kiblat tanpa berbicara dengan seorang pun. Ia bersikap dingin seolah sikapnya itu menyampaikan pesan bahwa semuanya telah terlambat. Sedetik kemudian ia kembali bersimpuh dalam sujud. Orang-orang yang melihatnya hanya bisa diam terpaku,sedih dan pilu.

Setelah sekian lama bersujud, Mamo lalu mengangkat kepalanya. Ia menoleh ke arah Putri Zein yang tergugu dalam pilu. Matanya berbinar-binar hendak mengucapkan kalimat-kalimat yang sudah lama ditunggu-tunggu oleh mereka yang menjenguknya. Orang-orang mulai tumbuh harapannya begitu Mamo mulai bicara. Mamo berbicara pada Putri Zein dengan suara pelan terputus-putus, dan tatapan mata terpana.