Menjelang datangnya pasukan Sekutu, seluruh daerah Luwu termasuk Tana Toraja dan Kolaka telah dinyatakan sebagai wilayah RI, demikian halnya dengan pemerintahan kerajaan Luwu. Semua ini dapat tercapai berkat kerjasama yang erat antara pemuda dan pemerintah kerajaan. Meskipun demikian, suasana masih diliputi ketegangan akibat adanya kelompok masyarakat yang pro kepada Belanda (termasuk di dalamnya beberapa bangsawan Luwu).

Dibiarkannya pasukan Belanda berkeliaran dan melakukan tindakan-tindakan, yang oleh rakyat Luwu dianggap menghina harga diri (siri), menimbulkan protes keras dari pihak kerajaan, pemuda, dan tokoh agama. atas nama rakyat dan kerajaan, dikeluarkanlah ultimatum kepada tentara Sekutu untuk segera mengambil langkah solutif. Namun sampai pada batas waktu yang telah ditentukan ultimatum itu tidak diindahkan. Walhasil, maka terjadilah peristiwa 23 Januari 1946. Tindakan ini merupakan buah dari upaya rakyat Luwu dalam menjaga eksistensi harga diri yang telah dicemari "kesuciannya" oleh tentara Sekutu dan antek-anteknya.