Nenek kita dulu sering kali bertanya kepada kita, anak-cucunya. Pertanyaannya sederhana, "Apakah cukup kita belajar untuk hidup atau kita harus hidup untuk belajar?" Sifat pertanyaan ini, sebenarnya, menjebak. Kalau kita menjawab bahwa kita belajar untuk hidup, maka penilaian yang lahir adalah: kita belajar hanya untuk memperoleh ijazah setinggi-tingginya. Kalau sudah dapat ijazah pendidikan tinggi, kita yakin bahwa hidup kita akan lebih menyenangkan. Kalau kita menjawab bahwa hidup itu belajar, maka kita dinilai tidak membutuhkan ijazah dan semua implikasi kenikmatan hidup yang menyertainya.

Lepas dari pertanyaan di atas, kita yakin bahwa kita bisa hidup karena diajari oleh orangtua kita, guru kita, saudara kita, dan sebagainya. Kalau dari proses pembelajaran. kita dapat sertifikat dan ijazah, itu hanya simbol. Simbol bahwa kita sudah berhasil menyelesaikan satu tahapan belajar. Masih banyak tahapan belajar lain yang harus kita tempuh agar kita bisa menjalani hidup dengan baik dan menciptakan kehidupan yang nyaman.

Nah membaca buku Memahami Politik Korea ini, kita seakan-akan diajak menempuh tahapan belajar yang lain. Misalnya belajar bagaimana melaksanakan pekerjaan dengan cepat-cepat, tapi akurat. Belajar bagaimana membentuk kesadaran politik yang tinggi. Belajar bagaimana membangun nasionalisme yang militan. Belajar bagaimana mendidik diri untuk disiplin sehingga bisa menciptakan lingkungan yang bersih. Maka, jangan lewatkan mengoleksi dan membaca buku ini.