Kita patut merenungkan kembali apa yang pernah dikatakan Bung Hatta (alm) di depan rapat senat terbuka UGM, saat menerima penghargaan Doktor Hc tahun 1956. �Apa yang kita alami di indonesia sehari-hari disekitar kita, seolah-olah pancasila itu diamalkan di bibir saja, tidak menjadi pelita di dalam hati untuk membangun masyarakat baru. Tiap-tiap golongan berkejar-kejaran mencari rejeki. Golongan sendiri di kemukakan, dan masyarakat dilupakan. Dalam teori kita mengikuti kolektivisme, dalam praktik dan perbuatan kita memperkuat individualisme.

Dalam teori kita membela demokrasi sosial, dalam praktik dan perbuatan kita menghidupkan semangat demokrasi liberal (Lampau dan Datang, 1956:22) Mewujudkan keadilan sosial berdasarkan kebijakan ekonomi yang mandiri persoalan struktual yang diperlukan adalah adanya consensus politik di tingkat nasional agar pemerintah memilih kebijakan makro yang pro rakyat dan pada saat yang bersamaan mendorong adanya tranparansi dan akuntabilitas penyelenggara negara. Masalahnya, apakah Indonesia memiliki semua kuasa untuk melaksanakan hal tersebut? Jawabannya adalah kuasa Indonesia sangat terbatas. Indonesia memang dapat memilih untuk memiliki kebijakan makro ekonomi yang pro rakyat, dengan menerapkan kebijakan fiscal yang lebih longgar, membatasi liberalisasi perdagangan, negosiasi ulang untuk pemotongan utang,. Tetapi berbagai peraturan dan mekanisme ditingkat global menjadi faktor penentu apakah Indonesia bisa mengimplementasikan semua keinginannya. Persoalan struktual yang sangat kompleks inilah yang dihadapi dalam memperjuangkan kemandirian bangsa Indonesia.