Mengapa peduli pada teori sosial? Kebuadayaan kita adalah suatu kebudayaan instrumental, dikuasai oleh rejim utilitarian yang lebih suka mencapai hasil lewat jalan pintas. Tak ada waktu untuk berpikir. Bahkan banyak diantara kita yang berprofesi sebagai mahasiswa atau pengajar menyadari betapa tidak terpaksa mempedulikan teori sosial dengan setengah hati, secara slektif, diantara pelbagai tuntutan hidup sehari-hari lainnya. Lantas, mengapa ini mengusik perhatian kita? Dengan merenung sepintas saja kita tahu bahwa ada beragam cara untuk mengetahui pengetahuan sehari-hari. (commonsense) mengutamakan pengalaman, Filsafat mengajari kita bahwa ada jalan lain, cara-cara teoritis untuk mengetahui. Sebetulnya ini bukanlah hal baru. Filsafat klasik sudah membdakan antara theoria, kontemplasi murni, praxis, atau tindakan transformatif, dan techne, atau pengetahuan teknis. Kesan bahwa terdapat beraneka cara untuk mengetahui tidaklah dimunculkan oleh postmodernitas, bukan pula oleh membanjirnya beragam pengetahuan yang kadang disebut sebagai ledakan informasi. Hampir dua abad silam de Tocqeville sudah mengingatkan bahwa tak seorangpun bisa mengetahui apa yang sebetulnya hendak diketahuinya, sementara Geothe lewat salah satu tokohnya dalam elective affanities mengeluhkan terus bertambahnya daftar segala persoalan yang mesti diketahui seseorang. Demikianlah kita lantas perlu menoleh kepada otoritas dan kepada teori. Dalam sosiologi, jika kita hendak megetahui tentang kapitalisme, Kita menoleh kepada Marx, atau dalam politik jika kita ingin tau tentang legitimasi, kita berpaling kepada Weber, atau mengenai gender, kita menyimak teori feminis.