Dalam hampir setiap pembicaraan tentang perkembangan masyarakat atau komunitas masalah kepemimpinan diketengahkan, tidak lain karena peranannya sebagai factor dominant dalam proses mendinamisasi komunitas itu lazimnya amat menonjol. Lebih-lebih bagi masyarakat pedesaan hal itu berlaku, terutama karena suasana tradisional atau semitradisional masih membawa kecenderungan kuat di kalangan rakyat kebanyakan untuk mengikuti pemimpin kepala desa sebagai panutan. Bahwasannya tradisi ini masih berlaku terbukti dari jalannya pemilu-pemilu sejak 1955, lebih-lebih berlangsungmya proyek-proyek pembangunan di pedesaan yang seperti diketahui umum kebanyakan bertumpu pada kepala desa beserta otoritasnya. Penggabaran peranan kepala desa secara stereotipikal itu dewasa ini ternyata kurang tepat justru dampak pembangunan yang membawa proses modemisasi, mobilitas dan dinamika rakyat pedesaan, komunikasi lewat media massa, kesemuanya menimbulkan perubahan sikap dan perilaku rakyat sehingga terjadi penggeseran hubungan-hubungan sosial pada umumnya dan hubungan pemimpin dan pengikutnya. Apabila di desa tradisional hubungan antara patron dan client sangat dominan,perubahan orientasi desa sebagai pengaruh komersialisme dan moneterisasi, mengakibatkan kerenggangan hubungan tersebut, lagi pula solidaritas,asosiasional. Transformasi structural inilah yang mengakibatkan diferensiasi kelompok beserta kepemimpinannya. Dengan demikian lembaga-lembaga social baru bersilangan dengan jaringan hubungan patron clent. Disamping itu kepemimpinan polimorfik kepala desa berkembang kearah bentuk monomorfik.