Hak-hak masyarakat adat, apalagi hak atas tanahnya adalah seluk-beluk yang tidak popular dikalangan masyarakat kota besar, tetapi dampaknya sangat terasa dikalangan masyarakat adat didesa-desa pedalaman. Namun belakangan ini, perhatian terhadap masalah tersebut semakin membesar, terutama pada berbagai organisasi non Pemerintah, sejumlah kalangan akademisi, dan pemuatan berita dan atau artikel di media masa, sehubungan dengan begitu seringnya muncul sengketa-sengketa besar penguasaan tanah dan kekayaan alamnya yang melibatkan komunitas-komunitas �masyarakat adat�. Berbagai sengketa termaksud berdasar pada implementasi proyek-proyek ekploitasi barang tambang pengusahaan kehutanan, perkebunan konserfasi atau perlindungan alam, transmigrasi, infrastruktur dan kawasan pariwisata.

Sebenarnya hukum adat yang sebelumnya ada dikatagorikan sebagai folk law dirubah statusnya menjadi state law yang berlaku dalam suatu sistem sosial tertentu, yang pelaksanaanya tetap tunduk pada Perundang-undangan Nasional yang ada. Jika demikian halnya yang kemudian penting adalah bagaimana pengaturan hak-hak masyarakat adat itu sendiri dilakukan ke dalam peraturan-peraturan setingkat Undang-Undang, sehingga hak-hak masyarakat adat (dan tentu saja kewajiban kewajibannya) tidak dapat begitu saja gugur dan disingkirkan oleh perundang�undangan lain. Terlebih oleh peraturan-peraturan bawahan setingkat peraturan pemerintah, Keputusan Presiden dan Surat Keputusan Menteri sebagaimana yang terjadi selama ini yang seringkali dibungkus kedok kepentingan pembangunan dan kepentingan orang banyak itu.