Rimba Nusantara yang menghijau sebentar lagi tinggal kenangan. Selama lebih dari 30 tahun pemerintahan Orde Baru, hutan telah dipatok sebagai salah satu sumber devisa terpenting selain migas. Setiap hari isi hutan dikuras atas nama pembangunan.

Sesungguhnya, sempat terbersit harapan saat angin reformasi berembus kencang. Segera setelah dikeluarkan Undang- Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, diberlakukan pula Undang-Undang Kehutanan No. 41/1999 menggantikan UU Pokok Kehutanan No. 5 tahun 1967 yang mendasari seluruh kegiatan kehutanan selama 33 tahun. Meski tak memuaskan semua pihak, Undang-Undang Kehutanan yang baru itu menjanjikan sejumlah asa, di antaranya yang terpenting adalah lebih diakuinya hak-hak masyarakat lokal. Juga, bagi para pelanggar hukum, sanksinya pun secara tersurat ditegaskan.

Namun, kenyataan tidaklah seindah harapan. Meski setumpuk peraturan telah dikeluarkan melengkapi berlakunya Undang-Undang Kehutanan yang baru, faktanya, ketika pemerintah daerah mulai ingin menunjukkan eksistensinya, semua peraturan pusat tak lebih dari teks di atas kertas yang luruh lunglai. Penjarahan hutan makin merajalela! Reformasi tak lebih dari sekadar retorika. Bagi sebagian orang, dengan berlindung di balik makna kebebasan, reformasi telah memberikan kesempatan mengumbar keserakahan. Dan hutan pun menjadi korban nyata dari nafsu ketamakan yang berkobar

Buku ini merangkum pendapat dan gagasan penulis dalam menyikapi berbagai masalah kehutanan satu dasawarsa terakhir ini, dan wawasan mengenai strategi pengelolaannya dengan tepatguna. Diharapkan, buku ini dapat menambah wawasan pembaca dalam memahami secara lebih utuh potret kehutanan Indonesia dan membangun kesadaran bersama untuk memperbaikinya.